Haid atau menstruasi merupakan kondisi biologis normal yang dialami oleh setiap perempuan balig. Dalam syariat Islam, kondisi ini membawa konsekuensi hukum, di antaranya adalah larangan menjalankan ibadah ritual tertentu seperti salat, puasa, dan menyentuh atau membaca Al-Qur’an (dari mushaf).
Baca Juga : Gubernur Riau Abdul Wahid Tiba di KPK Usai OTT, Diduga Terkait Suap Proyek Daerah
Ketentuan mengenai haid ini disinggung dalam Surah Al-Baqarah ayat 222:
$$\text{وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ}$$
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ‘Haid itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Menyikapi larangan-larangan ini, muncul pertanyaan mendasar terkait hukum bagi perempuan yang sedang haid untuk menghadiri majelis ilmu atau pengajian yang diadakan di dalam masjid. Isu ini merupakan masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) yang telah dibahas secara mendalam oleh para ulama dari berbagai mazhab fikih.
Perbedaan Pendapat Utama Mengenai Kehadiran di Masjid
Hukum dasar yang menjadi titik perbedaan adalah apakah perempuan haid diperbolehkan untuk berdiam diri (al-muksu) di dalam masjid. Berikut adalah ringkasan pandangan dari mazhab-mazhab utama:
1. Pendapat Mayoritas (Jumhur Ulama: Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali)
Mayoritas ulama dari empat mazhab utama cenderung melarang perempuan haid untuk berdiam diri di dalam masjid. Larangan ini umumnya disamakan dengan larangan bagi orang yang sedang junub, berdasarkan hadis, meskipun terdapat perbedaan dalam rinciannya:
- Mazhab Hanafi dan Maliki: Secara umum mengharamkan perempuan haid untuk masuk dan berdiam diri di masjid. Mazhab Maliki menambahkan pengecualian bagi kondisi darurat, misalnya kekhawatiran atas bahaya.
- Mazhab Syafi’i: Mengharamkan al-muksu (berdiam diri), namun membolehkan al-‘ubur (sekadar melintas/lewat) di dalam masjid, asalkan ada jaminan kuat darah haid tidak akan menetes dan mengotori masjid. Jika ada kekhawatiran mengotori masjid, maka lewat pun menjadi haram.
- Mazhab Hanbali: Membolehkan lewat dan bahkan berdiam sebentar di masjid dengan syarat telah berwudu terlebih dahulu, serta tidak khawatir mengotori masjid. Namun, tetap dilarang untuk al-muksu secara normal.
Dalil Utama Larangan: Salah satu dalil yang sering dijadikan sandaran adalah hadis dari Aisyah RA, di mana Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang junub dan perempuan yang haid.” (HR. Abu Daud, meskipun status hadis ini menjadi bahan perdebatan ulama hadis).
2. Pendapat yang Membolehkan Secara Mutlak
Sebagian ulama kontemporer dan ulama dari Mazhab Zahiri berpendapat bahwa perempuan haid diperbolehkan masuk dan berdiam di masjid, terutama untuk tujuan menuntut ilmu (pengajian).
Dalil Utama Kebolehan:
- Mereka berhujah bahwa hadis yang melarang perempuan haid masuk masjid dianggap dhaif (lemah) sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum pelarangan.
- Mereka berpegangan pada hadis yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan perempuan haid untuk menghadiri musala (lapangan) pada hari raya, namun diminta untuk menjauhi tempat salat. Perintah untuk menghadiri musala ini menunjukkan bahwa haid bukanlah penghalang total untuk menghadiri majelis kebaikan, dan batasannya hanya pada tempat salat itu sendiri, bukan keseluruhan area masjid.
- Kondisi saat ini, di mana perempuan sudah menggunakan pembalut modern yang menjamin kebersihan dan mencegah tetesan darah, dianggap menghilangkan kekhawatiran utama (najis) yang menjadi alasan utama pelarangan.
Kesimpulan Hukum untuk Majelis Pengajian
Menghadiri majelis pengajian atau kajian ilmu agama adalah perbuatan mulia. Berdasarkan tinjauan fikih di atas, terdapat beberapa solusi praktis bagi perempuan haid yang ingin mengikuti pengajian:
- Mengikuti Pandangan Mayoritas: Jika merujuk pada pandangan jumhur, perempuan haid sebaiknya tidak berdiam diri (al-muksu) di dalam area utama masjid (ruangan salat).
- Solusi Alternatif: Perempuan haid dapat mengikuti pengajian dari:
- Serambi Masjid (Teras), yang umumnya tidak dianggap sebagai bagian dari masjid (hukman).
- Ruangan atau fasilitas di luar bangunan utama masjid, seperti ruang sekretariat, perpustakaan, atau Islamic center yang masih berada di kompleks masjid.
- Duduk di saf paling belakang, atau di area yang dikhususkan bagi perempuan haid/berhalangan (jika disediakan).
- Prioritas Keutamaan: Para ulama menekankan bahwa menuntut ilmu adalah amalan yang sangat ditekankan. Jika tidak ada tempat lain selain di dalam masjid, sebagian ulama memandang kebolehan hadir dipertimbangkan demi mendapatkan ilmu, asalkan kebersihan diri terjamin secara maksimal (menggunakan pembalut yang rapat).
Intinya, tujuan mengikuti pengajian adalah boleh dan dianjurkan. Perbedaan hukum hanya terletak pada lokasi fisik yang dipilih (di dalam area masjid, serambi, atau luar masjid). Demi kehati-hatian (ihtiyat), disarankan mencari lokasi di luar area salat utama masjid.

