Menilik Dinamika Internal PSI: Antara Personalitas Politik, Kartel Partai, dan Kerapuhan Institusi

Menilik Dinamika Internal PSI: Antara Personalitas Politik, Kartel Partai, dan Kerapuhan Institusi

Struktur kekuasaan PSI – Menjelang pemilihan Ketua Umum PSI pada Juli 2025, publik kembali menyoroti dinamika internal partai ini. PSI dikenal sebagai “partai anak muda” yang sering mencuri perhatian. Tak disangka, setahun lalu Kaesang Pangarep menduduki kursi Ketua Umum PSI. Ia merupakan putra bungsu Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, publik mengenal Kaesang sebagai pengusaha kuliner dan vlogger.

Baca Juga : Ketagihan Judi Online, Dua Pria di Gunungkidul Nekat Curi Kambing

Penunjukan Kaesang sebagai Ketum PSI pada 25 September 2023, hanya berselang dua hari setelah resmi bergabung, mengejutkan banyak pihak. Ia langsung didapuk memimpin PSI periode 2023โ€“2028, menggantikan Giring Ganesha (eks vokalis Nidji). Peristiwa yang terkesan mendadak ini memicu cibiran pedas, menjuluki PSI sebagai “Partai Solidaritas Istana” โ€“ sindiran bahwa partai ini hanyalah perpanjangan tangan keluarga presiden. Pergantian pucuk pimpinan PSI ini bukan sekadar isu internal, melainkan gejala yang mencerminkan disfungsi lebih luas dalam sistem kepartaian Indonesia. PSI sejak awal menahbiskan diri sebagai partai antitesis korupsi dan intoleransi serta mengandalkan anak-anak muda perkotaan sebagai penggeraknya. Kini, publik menyoroti partai tersebut dengan tajam.

Relasi kekeluargaan antara Kaesang dan Jokowi menjadi pintu masuk menarik untuk menelaah tiga problema utama yang relevan secara teoretis: personalisasi politik, kartelisasi partai, dan kerapuhan pelembagaan partai.

Personalisasi Politik: Ketika Partai Bertumpu pada Individu.
Penunjukan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI secara gamblang menegaskan kecenderungan personalisasi politik di Indonesia.
Partai langsung mendorong sosok “instan” yang populer karena nama besar keluarganya ke posisi puncak.
Mereka melewati proses kaderisasi yang seharusnya bertahap dan panjang. PSI seolah bertaruh sepenuhnya pada daya tarik pribadi Kaesang, bukan pada rekam jejak politik atau platform ideologis yang jelas.

Struktur kekuasaan PSI

Fenomena ini sejalan dengan kecenderungan global.
Partai politik kini semakin berorientasi pada figur individu, bukan lagi perjuangan kolektif atau ideologi tertentu (Cross, Katz, & Pruysers, 2018).
Dalam kasus PSI, partai ini sejak awal membangun citra yang bertumpu pada sosok muda.
Mereka memilih tokoh dengan daya tarik tinggi di media.
Mulai dari Grace Natalie, mantan jurnalis televisi dan pendiri partai.
Lalu Tsamara Amany, seorang aktivis muda.
Hingga Giring Ganesha, mantan vokalis band Nidji.
PSI secara konsisten memanfaatkan popularitas pribadi para tokohnya untuk meningkatkan elektabilitas.

Namun, strategi seperti ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, tokoh populer bisa menarik perhatian publik lebih besar. Di sisi lain, ketergantungan berlebihan pada pesona pribadi figur ini justru melemahkan pembangunan institusi partai yang kokoh. Identitas atau “brand” partai menjadi sangat bergantung pada persona ketua umumnya. Kita bisa melihat bagaimana gaya PSI pada masa kepemimpinan Giring sangat lekat dengan pendekatan komunikasinya yang unik dan cenderung nyentrik, mulai dari janji besar hingga pernyataan ambisi politik yang kontroversial. Sebaliknya, saat Kaesang mulai memimpin, partai segera mengubah haluan dan mengadopsi pendekatan yang menyerupai “politik keluarga” seperti yang melekat pada citra Jokowi.

Personalisasi politik semacam ini juga membawa risiko lain, yaitu menurunnya loyalitas pemilih dan kader terhadap partai. Banyak pendukung PSI yang memilih partai ini semata-mata karena terpikat oleh sosok tertentu, bukan karena meyakini visi dan program partai secara mendalam. Ketika figur tersebut meninggalkan partai atau citranya meredup, dukungan publik dengan mudah berpindah ke partai lain atau figur baru yang sedang populer. Para ahli seperti Gideon Rahat dan Tamir Sheafer (2007) menggambarkan fenomena personalisasi politik ini sebagai proses meningkatnya peran figur individu dalam politik, sementara peran partai sebagai organisasi justru melemah.

Baca Selengkapnya : Harga Emas Antam Hari Ini Terjun Bebas!