Faktor Burnout Anak Muda – Fenomena burnout atau kelelahan ekstrem bukan hanya monopoli generasi yang lebih tua. Generasi Z (Gen Z), yang kini banyak memasuki usia awal 20-an, juga rentan mengalaminya burnout . Mereka kerap merasakan kecemasan, kebingungan arah, dan kerapuhan hidup, terutama ketika menghadapi kegagalan.
Baca Juga : Program Rusun Pesantren Dihapus Anggaran, Anggota DPR PKB Desak Pemerintah Kaji Ulang
Faktor Burnout Anak Muda
Menurut psikolog klinis Reti Oktania, M.Psi., salah satu akar masalahnya terletak pada pembangunan identitas diri yang tidak seimbang, terlalu bergantung pada satu aspek saja seperti pekerjaan atau pencapaian. “Kalau kamu naruh semua telurmu di satu keranjang, dan keranjangnya jatuh, ya pecah semua,” terang Reti kepada Kompas.com, Selasa (15/7/2025). “Tapi kalau kamu punya banyak keranjang, kamu bisa tetap berdiri meski salah satunya runtuh,” lanjutnya, menganalogikan pentingnya diversifikasi sumber identitas diri.
Membangun Fondasi Diri yang Kuat: Teori Enam Keranjang Identitas
Reti Oktania mengadaptasi gagasan dari teori self-concept yang dikembangkan oleh psikolog Susan Harter. Ia menekankan bahwa identitas diri yang sehat dan resilien harus dibangun dari berbagai sisi kehidupan, bukan hanya dari satu sumber validasi atau kesuksesan. Untuk membantu Gen Z menghadapi tekanan dan mencapai keseimbangan psikologis, Reti menguraikan enam “keranjang identitas” yang perlu mereka isi.
Pengetahuan
Teruslah belajar, baik melalui jalur pendidikan formal maupun inisiatif mandiri. Membekali diri dengan pengetahuan yang luas tidak hanya membantu dalam memahami dunia dan berpikir kritis, tetapi juga meningkatkan rasa percaya diri dalam menghadapi berbagai tantangan.
Reti memberikan ilustrasi menarik tentang seorang anak yang sejak kecil hanya fokus pada satu hal, misalnya sepak bola. Anak tersebut mengorbankan waktu bermain, belajar, dan relasi sosial demi mengejar olahraga yang dicintainya. Ia menjelaskan, jika anak itu cedera dan tidak bisa bermain lagi, ada kemungkinan ia kehilangan arah. Namun, jika anak tersebut juga suka membaca atau memiliki minat lain, ia masih punya bekal untuk bangkit kembali. Reti menegaskan bahwa pengetahuan merupakan bekal hidup yang tidak lekang oleh waktu maupun situasi.
Koneksi Sosial
Memiliki koneksi sosial yang sehat dan bermakna sangat krusial bagi kebahagiaan dan ketahanan mental. Menjaga hubungan baik dengan keluarga, teman, atau komunitas dapat menjadi sistem pendukung yang kuat. “Don’t isolate yourself. Jangan juga jadi terlalu independen sampai enggan minta bantuan,” saran Reti, mengingatkan pentingnya saling dukung dalam menghadapi kesulitan.
Kesehatan Fisik
Merawat tubuh melalui olahraga ringan teratur, konsumsi makanan bergizi, tidur yang cukup, dan menjaga kebersihan diri adalah investasi penting untuk kesehatan mental. Ketika kondisi fisik prima, seseorang akan lebih mampu menghadapi tekanan emosional dan situasi sulit. “Seberat apa pun kondisi hidup, tubuh yang sehat bisa jadi aset penting untuk bangkit lagi,” kata Reti, menyoroti korelasi kuat antara fisik dan mental.
Minat dan Hobi
Menekuni hal-hal yang benar-benar membuat bahagia dapat menjadi “jangkar” yang menenangkan di masa-masa penuh tekanan. Minat dan hobi tidak harus berorientasi pada prestasi, cukup sesuatu yang membangkitkan semangat dan rasa hidup, seperti menggambar, menulis, membuat konten, merawat tanaman, atau aktivitas lain yang membuat hati ringan. “Identitas tak harus selalu datang dari pencapaian. Bisa juga dari apa yang bikin kita senang,” jelas Reti.
Tanggung Jawab dan Peran
Memiliki satu bentuk tanggung jawab yang dijalankan secara konsisten, baik dalam pekerjaan, organisasi, atau bahkan tugas rumah tangga, dapat menjadi pijakan stabilitas. Ketika aspek hidup lain sedang kacau, peran ini bisa membantu seseorang tetap fokus dan termotivasi. “Misalnya kamu baru putus cinta, tapi kamu masih punya tanggung jawab kerja. Itu bisa bantu kamu tetap bergerak,” ujar Reti, menunjukkan bagaimana tanggung jawab dapat menjadi pegangan di tengah gejolak emosional.
Kebaikan
Berbuat baik kepada sesama, sekecil apa pun bentuknya, dapat menjadi sumber makna yang mendalam, bahkan di masa-masa sulit. Menolong orang lain dapat mengingatkan seseorang bahwa keberadaannya di dunia ini memiliki tujuan dan dampak positif. “Saat semua aspek hidup sedang turun, lakukan hal baik. Kamu akan merasa lebih berharga,” tutur Reti.
Tekanan media sosial, ekspektasi tinggi, dan budaya hustle terus menggempur Gen Z dan menuntut produktivitas tanpa henti. Karena itu, kita perlu mengingatkan Gen Z bahwa menjadi cukup dan sehat jauh lebih penting daripada mengejar kesempurnaan. Membangun identitas yang kokoh dari berbagai aspek kehidupan adalah kunci untuk mengatasi burnout dan mencapai keseimbangan hidup yang berkelanjutan.