Jerat Gelap Judi Online Kamboja: Kisah Pilu Ita, Korban Kekerasan Seksual dan Perdagangan Orang

Jerat Gelap Judi Online Kamboja: Kisah Pilu Ita, Korban Kekerasan Seksual dan Perdagangan Orang

Judi online di Kamboja – Kisah Ita (bukan nama sebenarnya), seorang Warga Negara Indonesia (WNI) berusia 20 tahun, menjadi gambaran mengerikan tentang sisi gelap industri judi online di Kamboja. Selama periode Desember 2023 hingga Agustus 2024, Ita mengalami penderitaan tak terbayangkan, mulai dari pelecehan hingga kekerasan seksual berlapis yang dilakukan oleh para pelaku di pusat judi daring tempat ia bekerja.

Baca Juga : Megawati Soekarnoputri Dijadwalkan Beri Arahan pada Bimtek PDIP di Bali

“Mereka benar-benar satu bulan penuh menyiksa saya, dari pelecehan sampai pukulan,” ungkap Ita kepada jurnalis Amahl Azwar dari BBC News Indonesia. Kekerasan tersebut bermula ketika Ita dianggap gagal memenuhi target sebagai admin judi online. Para pelaku lantas merekam tindakan keji mereka dan mengancam akan menyebarkannya jika Ita berani berbicara. “Selama satu bulan penuh saya dikurung dan disiksa. Badan saya diikat lalu diperkosa. Mereka kadang berdua, bahkan bertiga,” kenangnya dengan suara bergetar.

Judi online di Kamboja

Ita tidak sendiri. Ia meyakini masih banyak perempuan lain yang mengalami kekerasan serupa. Data Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemlu) mengonfirmasi bahwa mayoritas kasus WNI yang terjebak sindikat judi dan penipuan online memang terjadi di Kamboja. Dari total 7.628 kasus sejak 2021 hingga Maret 2025, sebanyak 4.300 kasus di antaranya berasal dari Kamboja. Myanmar menempati posisi kedua dengan 1.187 kasus.

Bahkan, dari 699 WNI yang berhasil dipulangkan dari Myanmar pada Februari hingga Maret 2025, 10 orang di antaranya mengaku mengalami kekerasan fisik dan seksual, berdasarkan data Kemlu.

Anis Hidayah, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sekaligus pendiri Migrant Care, menyoroti fenomena ini. Menurutnya, perempuan Indonesia yang bekerja di pusat judi dan penipuan online di Kamboja dan Myanmar seringkali mengalami eksploitasi berlapis, mencakup kekerasan fisik, ekonomi, dan seksual. Benang merah dari kasus-kasus ini, kata Anis, adalah relasi kuasa yang dimanfaatkan para pelaku untuk mengancam dan memanipulasi korban.

Terjebak Janji Palsu: Dari Bali ke Phnom Penh


Pengalaman pahit Ita bermula tak lama setelah ia lulus SMA. Ia tergiur tawaran pekerjaan dengan “gaji gede” di bidang “keuangan” dari seorang mantan kakak kelasnya. Gaji pokok yang dijanjikan sekitar Rp4 juta di Bali, sedikit di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta saat itu, terdengar menggiurkan bagi Ita.

Tanpa mengetahui deskripsi pekerjaan secara pasti, Ita mengikuti instruksi untuk mengirimkan dokumen pribadinya. Setelah paspornya dibuat, ia dibelikan tiket pesawat menuju Malaysia. Namun, setibanya di sana, tak ada seorang pun yang menjemputnya.

“Enggak ketemu sama sekali sama orang yang bilang katanya nanti ketemu di Malaysia. Cuma dia mengirimkan saya tiket lagi dan tulisannya Phnom Penh,” terang Ita.

Kota Phnom Penh, ibu kota Kamboja, adalah tempat yang asing bagi Ita yang belum pernah ke luar negeri. Perasaan campur aduk antara takut dan terpaksa menyelimuti benaknya. “Aduh gimana nih? Saya pulang enggak bisa, [tapi kalau] saya maju lagi, saya takut,” ujarnya.

Realita Kejam: Terjebak di Pusat Judi dan Paspor Ditahan


Akhirnya, Ita tiba di Phnom Penh. Dari sana, ia menempuh perjalanan sekitar tiga hingga empat jam menuju sebuah bangunan yang tampak seperti rumah biasa. Di sana, ia bertemu dengan mantan kakak kelasnya yang langsung meminta paspornya dan menjelaskan pekerjaan yang sebenarnya.

“Dia menjelaskan, ‘Jadi gini, kamu tuh jadi admin judi’,” tutur Ita menirukan perkataan mantan kakak kelasnya itu. Ita terkejut, karena pekerjaan yang dijanjikan padanya sebelumnya ada di Bali. “Yang saya pikirkan, apa saya bakal bisa pulang dalam waktu dekat? Atau misalkan sebulan sekali kita libur, bisa pulang ke Indonesia? Ternyata enggak bisa,” jelasnya.

Kemudian, mantan kakak kelasnya menambahkan, “Jadi paspor kamu ini memang harus ditahan sama perusahaan.” Merasa ditipu dan dijebak, Ita tak berdaya. Mau tak mau ia terpaksa menjalani pekerjaan sebagai admin judi, bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 8 malam. Pada awalnya, Ita masih diperbolehkan keluar hingga jam dua malam dan dapat memegang ponsel untuk berkomunikasi dengan keluarganya.

Penggerebekan, Ancaman, dan Kekerasan yang Tak Berujung


Suatu ketika, tempat kerja Ita digerebek oleh otoritas setempat. Ita dihadapkan pada dua pilihan: “dijual” ke perusahaan judi lain atau kembali ke Indonesia. Ia memilih opsi pulang, namun diwajibkan membayar Rp32 juta untuk biaya tebusan dan tiket pulang sendiri. Saat ia meminta bantuan atasannya, bosnya “lepas tangan”.

Selama dua minggu, Ita bersama empat perempuan dan sekitar 10-11 pria pekerja lain terkatung-katung tanpa kepastian di mess. Akhirnya, Ita menuruti permintaan bosnya untuk pindah ke mess lain yang disebutnya sebagai “pusat”.

Pada bulan pertama di “pusat” itu, semua berjalan normal. Ita menerima gaji, bonus, dan uang makan. Namun, situasi berubah drastis di bulan berikutnya ketika Ita gagal memenuhi target. Ia pun “dikurung” pada awal Maret 2024.

“Sebelumnya enggak ada yang bilang kalau enggak [mencapai] target bakal dikurung,” keluhnya. “Badan saya ditarik secara paksa lalu dibawa ke gudang. Di situ, saya dikurung dan hanya dikasih makan dua hari sekali,” lanjut Ita, seraya menambahkan bahwa gajinya juga dipotong.

Awalnya, para penyekap Ita mengatakan ia akan dikurung selama seminggu. Namun, entah mengapa, “hukuman” itu diperpanjang menjadi sebulan penuh. Sejak itulah, Ita mulai mengalami kekerasan fisik. “Kalau mereka capek bekerja, mereka selalu melampiaskan sama orang yang ada di gudang. Sebulan itu, kan, cuma saya doang [di gudang], jadi bulan Maret itu cuma saya yang dipukul sama mereka.”

Puncaknya, Ita juga menjadi korban kekerasan seksual saat dikurung.

“Pas di dalam gudang itu, pas saya tidur, entah mereka habis mabuk atau apa, mereka mengikat saya. Terus saya diperkosa sama mereka,” ungkap Ita. Para pelaku, yang terdiri dari dua hingga tiga orang, bahkan merekam aksi keji tersebut. Kekerasan fisik dan seksual ini terus berlanjut sepanjang sebulan penuh Ita dikurung. “Setiap mau melecehkan, mereka selalu mengikat saya. Jadi benar-benar kaki saya, tangan saya diikat. Kadang diikat di bangku,” jelasnya.

Setelah akhirnya bebas dari “kurungan” itu, Ita mendapat ancaman keras dari para pelaku untuk tidak mengungkap apa yang telah dialaminya. “Mau saya ngomong pun pasti enggak ada yang percaya, dan saya diancam, ‘Kamu enggak boleh bilang ini ke orang-orang atau video ini bakal tersebar’,” pungkas Ita, menggambarkan trauma mendalam yang ia alami.

Kisah Ita adalah pengingat betapa rentannya para pencari kerja terhadap praktik perdagangan orang dan eksploitasi, terutama di tengah iming-iming gaji besar yang tidak realistis. Penting bagi masyarakat untuk selalu waspada dan mencari informasi valid sebelum menerima tawaran pekerjaan di luar negeri.