Panduan Lengkap Hukum Mengonsumsi Darah dan Jeroan dalam Islam

Panduan Lengkap Hukum Mengonsumsi Darah dan Jeroan dalam Islam

Sebagai seorang Muslim, memahami hukum makanan yang dikonsumsi adalah hal yang esensial. Sebab, ada beberapa jenis makanan yang umum dikonsumsi masyarakat, tetapi dilarang dalam Islam. Salah satu hal yang sering menjadi pertanyaan adalah hukum mengonsumsi darah dan jeroan hewan.

Baca Juga : Perusahaan Investasi Global, MEXC Ventures, Guyur Dana Rp 3,2 Triliun ke Bursa Kripto Indonesia

Larangan Mengonsumsi Darah dalam Islam
Secara tegas, Islam mengharamkan konsumsi darah. Larangan ini didasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an, seperti yang tertera dalam Surah An-Nahl ayat 115 dan Surah Al-Maidah ayat 3.

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah…” (Q.S. An-Nahl: 115)

Dalam konteks ini, darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir dari tubuh hewan saat proses penyembelihan. Darah dianggap najis dan mengandung kemudaratan (bahaya) bagi kesehatan.

Di Indonesia, ada olahan darah hewan yang dikenal sebagai marus atau saren. Meskipun diolah hingga membeku dan menyerupai tekstur limpa, marus tetap dianggap sebagai darah dan dihukumi haram untuk dikonsumsi dalam Islam.

Namun, terdapat pengecualian khusus untuk dua jenis “darah” yang dibekukan, yaitu hati dan limpa. Keduanya dihalalkan untuk dimakan karena memiliki sifat dan status yang berbeda dari darah cair lainnya.

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi menyebutkan:

“Dihalalkan bagi kami dua macam bangkai dan dua macam darah. Bangkai ikan dan belalang. Hati dan limpa.” (HR. Baihaqi)

Hukum Mengonsumsi Jeroan dalam Islam
Terkait hukum mengonsumsi jeroan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Mayoritas Ulama (Pendapat yang Kuat): Memperbolehkan konsumsi jeroan, seperti babat, usus, paru-paru, ginjal, dan lainnya, selama hewan tersebut disembelih secara syar’i dan jeroannya dibersihkan dengan baik. Tidak ada dalil tegas yang melarangnya, dan bahkan hadis tentang hati dan limpa dapat menjadi dalil pendukung.

Imam Abu Hanifah: Berpendapat bahwa mengonsumsi jeroan adalah makruh (dianjurkan untuk dihindari) karena ia menganggap jeroan sebagai khabaaits (hal-hal yang buruk atau menjijikkan).

Namun, pendapat yang lebih kuat dan diikuti oleh mayoritas ulama adalah bahwa jeroan, yang sudah dibersihkan dan dimasak, memiliki hukum yang sama dengan daging. Hal ini dijelaskan oleh Imam al-Hathab dalam kitabnya, Mawahib al-Jalil.

Dengan demikian, umat Islam diperbolehkan untuk mengonsumsi jeroan dari hewan yang halal, seperti sapi, kambing, atau ayam, selama proses penyembelihan dan pengolahannya sesuai dengan syariat Islam.