Rencana Reformasi Rujukan BPJS oleh Menkes: DPR Ingatkan Risiko Penumpukan Pasien di RS Tipe A

Rencana Reformasi Rujukan BPJS oleh Menkes: DPR Ingatkan Risiko Penumpukan Pasien di RS Tipe A

Jakarta – Rencana Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin untuk merombak dan berpotensi menghapus sistem rujukan berjenjang dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menuai tanggapan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota Komisi IX DPR RI, Ashabul Kahfi, menyambut baik semangat reformasi tersebut namun mengingatkan pemerintah agar mewaspadai risiko penumpukan pasien di rumah sakit (RS) rujukan tertinggi.

Baca Juga : Modus Penggelapan oleh Bos Travel Terungkap: Ratusan Wisatawan Gagal Bayar Makan di Gunungkidul

Menkes Budi Gunadi Sadikin sebelumnya mengungkapkan niatnya untuk mereformasi sistem rujukan agar lebih cepat dan efisien, khususnya untuk kasus-kasus medis yang memerlukan penanganan segera dan spesialisasi tinggi.

Kecepatan Penanganan versus Bahaya Penumpukan

Ashabul Kahfi, yang juga menjabat sebagai Ketua DPW PAN Sulawesi Utara, setuju bahwa sistem rujukan berjenjang harus dihilangkan untuk kondisi darurat medis.

“Untuk kasus-kasus gawat darurat seperti serangan jantung, stroke, atau kondisi mengancam nyawa, memang tidak boleh lagi ada rujukan berlapis yang justru membahayakan pasien,” kata Ashabul kepada wartawan, Sabtu (15/11/2025).

Namun, ia memberikan catatan keras kepada pemerintah. Perubahan kebijakan yang revolusioner ini harus dilakukan secara terukur dan berbasis kesiapan fasilitas kesehatan.

“Kami mengingatkan pemerintah bahwa perubahan ini harus sangat terukur, berbasis data, dan diikuti kesiapan fasilitas kesehatan, agar tidak menumpuk pasien di RS tipe A dan meninggalkan puskesmas maupun RS tipe C/B tanpa penguatan layanan,” tegasnya.

Perlu Perubahan Alur Berbasis Kompetensi, Bukan “Bebas Rujuk”

Menurut Menkes Budi, alur rujukan saat ini justru berisiko membahayakan nyawa pasien dan memboroskan biaya BPJS. Ia mencontohkan pasien serangan jantung yang seharusnya menjalani bedah jantung terbuka. Dalam sistem rujukan saat ini, pasien tersebut harus melalui Puskesmas, kemudian dirujuk ke RS tipe C, sebelum akhirnya bisa mencapai RS tipe A yang memiliki fasilitas bedah jantung.

“Dari BPJS itu biaya yang lebih murah, dari masyarakat juga lebih senang, nggak usah dia rujuknya tiga kali lipat, keburu wafat nanti dia kan. Lebih baik dia langsung aja dikasih ke tempat, di mana dia bisa dilayani sesuai dengan anamnesa awalnya,” ujar Budi Sadikin dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR pada Kamis (13/11).

Menanggapi hal ini, Ashabul Kahfi menekankan bahwa layanan kesehatan primer (Puskesmas) tetap memegang peran krusial sebagai penyaring rujukan. Menurutnya, yang perlu diubah bukanlah menghapus total rujukan, melainkan mengubah alur untuk kasus tertentu berbasis kompetensi dan kriteria yang jelas.

“Bukan dibiarkan jadi ‘bebas rujuk tanpa aturan’,” ujarnya.

Kebutuhan Regulasi Baru dan Masa Transisi

Ashabul mendesak Kementerian Kesehatan untuk segera menyusun ulang regulasi rujukan. Regulasi baru ini harus berbasis kompetensi dengan kriteria yang jelas, serta mengidentifikasi jenis penyakit yang diizinkan untuk ‘lompat’ langsung ke RS tipe A.

Beberapa aspek penting yang harus diatur adalah:

  • Jenis penyakit yang diperbolehkan lompat rujukan langsung ke RS tipe A.
  • Standar triase (penentuan prioritas penanganan) yang baku di Puskesmas.
  • Integrasi sistem informasi kesehatan untuk mencegah tumpang tindih klaim asuransi.

DPR juga meminta agar setiap perubahan kebijakan penting harus melalui masa transisi dan sosialisasi yang matang kepada seluruh fasilitas kesehatan dan masyarakat pengguna BPJS Kesehatan, demi memastikan implementasi yang mulus dan minim gejolak.